Selasa, 13 Agustus 2019

Hanya Ingin Menjadi diri sendiri


Mempunyai nama Ari adalah pergumulan tersendiri buat saya. Di Indonesia, banyak sekali nama Ari. Dua diantaranya adalah selebritis Indonesia yang saya cukup sukai karya-karyanya. Mereka berdua adalah  Ari Lasso dan Ari Wibowo. Pun ada satu lagi Ari Sihasale. Ketiganya mempunyai persamaan dengan saya. Sama-sama bernama depan Ari. Tapi perbedaan diantara saya dan merek bertiga juga sangat menyolok. Mereka adalah laki-laki dan saya perempuan. Ingat ya saya perempuan beneran hehe. 

Nama Ari sangat umum dipakai sebagai nama laki-laki. Masa kecil saya sempat membuat saya ninder karena saya bernama Ari. Tambah lagi saya selalu potong rambut model laki-laki. Iya jaman dulu terkenal dengan potongan rambuk demi moore. Jadi masa kecil saya so tomboy. Apalagi saya kemana-mana lebih sering bermain dengan ke dua kakak lelaki saya dan teman-temannya. 

Sekilas kisah tentang nama Ari yang saya sandang sejak lahir. Nama Budi yang menyambung di belakang nama saya juga biasa sebagai nama pria. Jadi bayangkan, kalau orang mencoba tebak saya dengan nama Ari Budi tanpa baca teliti belakangnya, yanti, akan cenderung mengira saya laki-laki. Entah sudah berapa kali saya dipanggil mas atau pak. 

Tapi iya sudahlah. Toh saya tidak bisa juga memilih nama saya sendiri. Itu pemberian orang tua yang harus saya syukuri. Karena orang tua mempunyai pertimbangan khusus memberi nama Ari Budiyanti.

Selain itu, saya juga jarang dikenal sebagai Ari. Sejak SMA, saya sudah tidak tinggal di kampung halaman karena menuntut ilmu di luar kota. Sehingga banyak orang kampung tidak terlalu hapal dengan saya. Kalau saya pulang, seringkali mereka hanya tahu saya ini adiknya mbak Desi, kakak saya yang cukup dikenal di kampung. Atau kakaknya Vitri, adik saya yang juga sangat dihapal di lingkungan tempat kami tinggal. Jadi siapakah saya. Saya adalah adik mbak Desi atau kakak Vitri. Jarang ada yang kenal saya sebagai Ari. Ya sudahlah saya yakin koq itu bukan satu-satunya pengalaman saya saja. Mungkin ada pembaca yang mengalami hal yang sama dengan saya? 

Pengalaman hidup juga membawa saya pada berbagai peristiwa yang sering menekan saya. Seolah lingkungan saya ingin membentuk saya menjadi seperti yang mereka inginkan. Sehingga saya sering lupa menjadi diri sendiri. Maksud saya, saya sering tanpa sadar ingin memenuhi kemauan orang-orang di sekeliling saya untuk menajdi seperti yang mereka mau. Berbahaya sekali ternyata efeknya buat saya. 

Saya hanya sekedar berbagi ya. Semoga ada hal baik bisa diambil dari kisah saya. Contohnya, saya pernah mengalami penolakan semua karya saya dalam tulisan. Saya tidak memenuhi standar penulisan yang diharapkan seseorang sehingga semua karya saya tidak tepakai dan dirombak total. Wow. Pengalaman pahit tapi ada baiknya buat saya. Memang sih saya jadi belajar cara berkarya yang lebih baik menurut versi sesorang. Iya setidaknya saya belajar. 

Pernah juga karya-karya saya mendapat kritik tajam karena terlalu sederhana dan tidak berjualitas baik. Iya pasti dengan standar penilaian sesorang kan. Tentu saja itu menyakiti hati saya. Saya berpikir, kenapa ada saja ya hal-hal tidak baik menimpa saya berkaitan dengan karya-karya saya. Kadang saya mudah sekali baper alias terbawa perasaan. Semua hal tidak.menyenangkan ini menjadi semacam "barrier" buat saya untuk berkembang. 

Baiklah, terlepas semua itu tetap ada sisi baik untuk menempa saya, namun akhirnya saya lelah. Saya merasa susah sendiri ketika harus berkarya seperti kemauan-kemauan orang-orang. Saya seperti kehilangan ciri khas pada karya saya. Saya seperti menjadi seseorang yang lain dan bukan diri saya sendiri. Tidak baik pula untuk kesehatan emosi saya. 

Akhirnya saya sampai pada keputusan akan menjadi diri saya yang sebenernya. Menjadi diri saya yang berkarya dengan menampilkan keberadaan saya yang sesungguhnya. Berkarya bukan menurut standar-standar orang lain yang mungkin terlalu tinggi buat saya. "I just want to be myself as God wants me to be"

Setelah keputusan itu saya ambil dengan segala resikonya, ternyata saya malah semakin produktif berkarya. Tulisan-tulisan saya yang sederhana dan "easy reading" mengalir dengan mudahnya di sini. Iya di Kompasiana.

Saat saya ingin menulis cerpen, semua mengalir begitu saja dan jadilah cerpen. Ketika ingin menulis puisi, maka jadilah karya puisi-puisi saya. Ketika ingin berkisah liburan saya, jadilah catatan traveling. Ketika saya menikmati berkebun, jadilah kisah-kisah berkebun. Begitu juga dengan aneka karya saya lainnya. 

Akhirnya saya mengerti, ketika saya tidak membiarkan hati saya terbebani dengan berbagai standar orang lain, saya seperti membebaskan diri dalam menulis. Bahkan di Kompasiana ini banyak tulisan saya yang ternyata terapresiasi dengan baik. Sering masuk jadi pilihan editor, ada beberapa jadi artikel utama dan sering masuk kategori Nilai Tertinggi. Beberapa kali jiga tulisan saya masuk ke ranah terpopuler. 

Saya terbiasa mengabadikan pencapaian-pencapaian saya dengan melakukan tangkapan layar HP saya. Lalu saya sering posting di media sosial tentang pencapaian saya. Bahkan beberapa jadi tukisan di Kompasiana. Apakah mungkin ada yang akan mengira saya sombong? Bisa jadi. Silakan Anda mengintepretasikannya. Yang jelas bagi saya pribadi, semua dokumen pencapaian saya itu penting untuk memotivasi diri sendiri "that I can do all of these things even when others think I can't do it."

Just be myself. Menjadi diri sendiri. Menampilkan ciri khas saya sendiri dalam tulisan-tulisan saya, dalam karya-karya saya. Ternyata membuat saya lebih ringan menjalani hidup. Menulis menjadi semacam refreshing otak bagi saya setelah penat menempuh perjalanan di dunia nyata. Maksud saya dalam area kehidupan sehari-hari. Baik dalam pekerjaan maupun keluarga. Menulis menjadi sarana saya untuk mengekspresikan diri. Sungguh membantu saya untuk bisa lebih seimbang menjalani kehidupan. 

Sekian kisah saya di malam ini. Selamat beristirahat semuanya. Tak sadar kalau sudah mendekati dini hari. Tetaplah semangat menulis dan jadilah dirimu sendiri.


Salam hangat. 

Just be yourself as God wants you to be 



Written by Ari Budiyanti

13 Agustus 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar