Rabu, 26 Februari 2020

tirai air mata kan hujan dalam bencana

Masih setia mendung menggelayut saat petang tiba
Entah sejak kapan hadirnya tak teramati olehku
Ketika tertutupi segala duka dalam pekat dan gelapnya malam
Terlebih beriring rintik hujan yang bagaikan tirai sutra tembus pandang

Kerlip lampu kota saat malam
Beradu terang dengan lampu di laju kendaraan 
Namun demikian tak bisa menerangi hati yang terlanjur berduka 
Dalam sebuah perpisahan yang tak kasat mata

Mungkin sua itu belum terjadi dan selamanya tiada
Ketika perpisahan raga menjadi sebuah pertanda jiwa
Bahkan riuhnya kenangan telah terlanjur berbaur dengan derasnya aliran air
Yang menggenang terus saat bersamaan hujan

Kapankah bencana ini berlalu dari bumi tercintaku
Yang dicurahi berkat dua musim selalu
Perimbangan kemarau dan penghujan yang seolah melebur dalam kerontang dan banjir
Sungguh ku tak mengerti bahasa alam sepenuhnya

Aku sudah lelah berduka
Pun berderai air mata untuk mereka yang tertimpa bencana 
Sungguh duka hadir lagi setelah awal tahun lalu berlalu
Hanya dalam selang hitungan puluhan hari 

Berhentilah saling memaki dan mencela
Sudahilah segala amarah emosi jiwa karena berbagai kecewa
Bahu membahu saja berusaha menolong mereka
Yang masih terus berduka di kubangan coklatnya air karena banjir melanda

Dukaku untuk semua yang tertimpa banjir di penjuru kota dan desa
Sedihku membuat air mata menjadi kabut di pelupuk mata
Doaku kupanjatkan pada Sang Khalik
Kiranya ditahankan segala hujan lebat di angkasa
Kiranya disuritkan banjir yang mengepung warga
Amin

....
Written by Ari Budiyanti
26 Februari 2020

#PuisiHatiAriBudiyanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar